Kepmendagri No.050-145/2022, menyebutkan Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan dan Pulau Panjang di Aceh Singkil telah ditetapkan masuk wilayah Sumatera Utara.

Menanggapi hal tersebut, Nurzahri Ketua Komisi 2 DPRA 2014-2019 menyebutkan pada 2018 saat masih ketua komisi 2 DPR Aceh.

Pada waktu itu Komisi 2 DPRA dibeeri tugas untuk membuat qanun RZWP3K Rencana Zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).

Di dalam qanun tersebut komisi 2 DPRA mempertahankan 4 pulau di Aceh Sngkil sebagai bagian dari Wilayah Aceh, ke empat pulau tersebut adalah:

  • Pulau Mangkir besar
  • Pulau mangkir kecil
  • Pulau panjang
  • Pulau Lipan

“Selama bertahun-tahun ke empat pulau tersebut telah menjadi sengketa antara Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, secara geografis dan administrasi pemerintahan, keempat pulau tersebut tunduk ke Aceh, bahkan sudah ada perangkat desa/gampong yang secara administratif menjabat di keempat pulau tersebut, akan tetapi penduduk ke empat pulau tersebut mayoritas ber KTP Sumatera Utara dan mereka pada umumnya adalah para nelayan yang menjadikan keempat pulau tersebut sebagai tempat transit ketika mencari ikan,” katanya, Sabtu (21/5/2022).

Nurzahri menyebutkan pada 2018 DPR Aceh beberapa kali mengajak pihak pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumatera Utara untuk menyelesaikan permasalahan ke empat pulau tersebut di kemendagri, akan tetapi pertemuan tersebut tidak pernah terjadi, hanya pertemuan antara DPR Aceh dan DPRD Sumut yang terealisasi, akan tetapi karena DPR Aceh dan DPRD Sumut bukan bagian dari eksekutif maka kami tidak bisa mengambil kesimpulan.

Pada akhirnya tahun 2019 qanun RZWP3K disahkan dengan memasukkankan ke empat pulau tersebut kedalam wilayah Aceh sebagai bagian claim sepihak, dan pihak kemendagri juga mendukung claim di dalam qanun dengan mengeluarkan dokumen registrasi qanun.

Selain masalah ke empat pulau sengketa, di dalam qanun RZWP3K juga masukkan klaim laut antara daratan Aceh dengan pulau simeulue sebagai bagian dari teritorial Aceh, akan tetapi pihak pemerintah pusat tidak mau menyetujuinya, perdebatan terkait laut antara daratn Aceh dan Simeulue ini tidak menemui titik temu hingga akhir pembahasan qanun.

“Kami mengklaim laut tersebut karena akan berimplikasi terkait bagi hasil minyak dan gas bumi yang ada di lautan Simeulue tersebut, jika laut Simeulue menjadi bagian Aceh maka bagi hasilnya 70% bagi Aceh dan 30% bagi pemerintah pusat, akan tetapi bila laut Simeulue menjadi teritorial pusat maka bagi hasil migas menjadi sebaliknya,” katanya Dikutip dari medsos.

Pada tahun 2019, DPR Acehi memparipurnakan qanun dengan kedua claim (pulau dan laut) dan di setujui oleh seluruh Anggota DPRA dan Gubernur Aceh.

“Setelah saya tidak lagi menjadi anggota dewan, secara sepihak Gubernur mengubah qanun RZWP3K tanpa sepengetahuan DPRA, perubahan sepihak tersebut termasuk memberikan laut Simeulue sebagai bagian teritorial pemerintah pusat dan keragu-raguan terhadap klaim 4 pulau sengketa,” ucapnya.

Nurzahri menduga, Pemerintah Aceh karena Gubernur Aceh dan jajaran eksekuti tidak berani melawan perintah pusat, sehingga terpaksa mengubah qanun secara diam-diam tanpa memberitahukan kepada DPRA, dan akibat sikap kepengecutan dan Pemerintah Pusat berani melakukan tindakan yang lebih jauh lagi.

“Kini pada 2022 Pemerintah Pusat melalui Kemendagri menyatakan keempat pulau sengketa menjadi milik Sumatera Uara,” pungkasnya.